Provinsi DKI Jakarta akan menjadi salah satu panggung terpenting dalam Pilkada serentak 2024. Pemilihan ini akan menentukan gubernur baru yang akan memimpin salah satu kota metropolitan terbesar di dunia. Dengan sejarah politik yang dinamis dan keterlibatan warga yang aktif, pemilihan gubernur Jakarta pada 27 November mendatang akan menarik perhatian publik dari seluruh penjuru tanah air.

Menjadi gubernur DKI Jakarta berarti mengemban tanggung jawab untuk mengelola kota berpopulasi padat dengan APBD yang besar, mencapai lebih dari Rp 79 triliun. Tantangannya meliputi pengendalian banjir, kemacetan lalu lintas, tata kota, dan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Jakarta, dari pusat hingga daerah pinggiran.

Kepala daerah yang terpilih akan memiliki peluang besar untuk memperkuat infrastruktur transportasi dan tata kota, memanfaatkan APBD yang besar serta potensi ekonomi yang kuat sebagai pusat bisnis dan perdagangan nasional. Peningkatan kualitas hidup warga dapat diraih dengan inovasi dalam kebijakan sosial, lingkungan, dan ekonomi, khususnya terkait transportasi dan aksesibilitas.

Karena kursi Gubernur Jakarta begitu menarik, ada banyak nama besar hadir. Erwin Aksa dari Golkar, Anies Baswedan, Ahmad Sahroni dari Partai NasDem, hingga Basuki Tjahaja Purnama, siap meramaikan bursa Pilkada Gubernur Jakarta.

VISI MISI APA YANG KRUSIAL?

Jakarta memiliki geografis yang unik sebagai kota pesisir di muara Sungai Ciliwung. Wilayahnya terdiri dari daratan rendah yang kerap menghadapi risiko banjir. Kepadatan penduduknya tinggi, terutama di pusat kota, dengan berbagai komunitas etnis dan ekonomi yang beragam.

Ekonomi DKI Jakarta didorong oleh sektor jasa, perdagangan, properti, dan manufaktur ringan. Banyak perusahaan nasional dan multinasional berkantor di sini, menjadikannya pusat bisnis dan keuangan Indonesia.

  1. Pendidikan: Pemerataan akses dan kualitas pendidikan di seluruh wilayah.
  2. Infrastruktur: Kemacetan dan akses transportasi publik.
  3. Kesehatan: Pelayanan kesehatan yang masih perlu diperluas.
  4. Ketenagakerjaan: Kesempatan kerja yang masih timpang, terutama untuk kaum muda.
  5. Jaminan Sosial: Perlindungan sosial bagi kelompok rentan.
  6. Lingkungan: Penanganan banjir, sampah, dan pencemaran udara.

JARINGAN POLITIK

Jakarta memiliki corak politik yang sangat plural dengan berbagai partai dan tokoh nasional memiliki pengaruh. Banyaknya media dan tingkat pendidikan tinggi warga membuat lanskap politik di sini sangat dinamis. Sehingga pertarungan kursi gubernur DKI Jakarta selalu membuat partai politik mengerahkan sumber dayanya.

Lansekap politik di DKI Jakarta cenderung merata. Partai nasionalis dan agama cenderung berbagi angka yang tak jauh. Kedua jenis partai ini kemudian bergantian siapa yang paling unggul. Berikut data perolehan suara partai di kursi DPRD DKI Jakarta.

  1. PKS: 1,012,028 suara

  2. PDIP: 850,174 suara

  3. Partai Gerindra: 728,297 suara

  4. NasDem: 545,235 suara

  5. Golkar: 517,819 suara

  6. PKB: 470,682 suara

  7. PSI: 465,936 suara

  8. PAN: 455,906 suara

  9. Partai Demokrat: 444,314 suara

  10. Perindo: 160,203 suara

  11. PPP: 153,240 suara

PKS menyusul PDIP yang unggul di 2019. Namun peningkatan suara PKS tidak terlalu tinggi, dari 917,005 suara menjadi 1,012,028 suara. Suara PDIP yang mengalami penurunan drastis sebanyak 400 ribuan diikuti oleh kenaikan Gerindra, PSI, dan Golkar.

Dinamika politik ini tampak dari PDIP, Gerindra, dan PKS yang selalu dominan di dua pemilu terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok agama dan nasionalis punya basis suara yang cukup besar di Jakarta.

Sementara hasil Pilpres, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memenangkan suara mayoritas di DKI Jakarta. Menyusul Ganjar Pranowo-Mahfud MD dan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar.

Dari data Pileg dan Pilpres, konfigurasi politik di DKI Jakarta masih sangat cair. Kandidat perlu menentukan fokusnya, apakah menjaring kendaraan politik berbasis agama atau nasionalis. Pilihan pendulum politik ini harus diikuti upaya merekrut jaringan masyarakat. Berikut jenis tokoh masyarakat DKI Jakarta yang harus dipetakan:

  1. Ulama Habaib: Tokoh agama di DKI Jakarta biasanya adalah ulama atau habaib dengan massa pengajian yang amat besar. Mereka kerap mengadakan pengajian rutin dengan mengumpulkan banyak massa.
  2. Tokoh Pesantren: Tokoh pesantren di wilayah DKI Jakarta.
  3. Tokoh Betawi: Ulama atau budayawan Betawi yang berada di permukiman setempat.
  4. Tokoh Masyarakat Kesukuan: Kelompok suku yang bermukim di DKI Jakarta biasanya memiliki tokoh masyarakat yang dituakan.
  5. Influencer: Anak muda kelas menengah cenderung mengikuti influencer yang mereka ikuti di media sosial. Influencer ini berada di berbagai tema.

Dengan mengakuisisi jaringan politik dan masyarakat, kandidat dapat dengan mudah menggerakkan simpul-simpul kunci tanpa perlu mengetuk rumah pemilih terlalu banyak.

PROGRAM KAMPANYE

Proses pemenangan di DKI Jakarta membutuhkan kombinasi pendekatan kampanye konvensional dan digital. Keduanya dapat menjangkau perilaku warga DKI Jakarta yang masih bersosialisasi di permukimannya, atau penduduk yang bergaul di komunitas-komunitas.

Pertama, baliho.

Alat peraga kampanye seperti baliho dan spanduk amat krusial di wilayah DKI Jakarta dengan warga yang kesehariannya commute dari satu tempat ke tempat yang lain. Dengan kondisi tersebut, bukan berarti kita harus memasang APK sebanyak-banyaknya. Warga DKI Jakarta memiliki selera desain grafis yang tinggi.

Misalnya saja baliho-baliho yang beredar selama Pileg 2024. Caleg dengan baliho yang menimbulkan kesan unik cenderung meraih suara banyak. Misalnya caleg DPR RI Golkar Chong Sung Kim berhasil suaranya mencuat.

Kedua, silaturahmi.

Penduduk kampung-kampung di DKI Jakarta akan amat sangat suka dengan diskusi langsung. Silaturahmi ke permukiman dan juga tokoh masyarakat amat mampu meningkatkan kemungkinan terpilih. Apalagi, kepadatan penduduk di Jakarta mencapai 16 ribu per km2 membuat silaturahmi bisa berjalan efisien.

Misalnya ketika Tsamara Amany Alatas maju ke Pileg 2019. Bermodalkan logistik yang tak terlalu banyak, Tsamara berkunjung ke beberapa titik dalam sehari selama 2 tahun sebelum Pemilu.

Untuk itu, perlu mampu merancang program silaturahmi dan kampanye massa apa saja yang efektif di DKI Jakarta. Misalnya menggunakan contoh berikut:

  1. Diskusi Publik: Mengajak warga membahas isu kota dengan dialog terbuka.
  2. Pameran Karir: Memberi pelatihan kerja bagi kaum muda dan profesional.
  3. Layanan Kesehatan Gratis: Penyuluhan kesehatan di permukiman padat.

Ketiga, media sosial.

Hampir 100 persen warga DKI Jakarta menggunakan smartphone dan rutin menggunakan media sosial. Platform Facebook, YouTube, TikTok, dan Instagram menjadikan DKI Jakarta sebagai pengguna terbanyak. Apalagi keberadaan pemilih Gen Z dan Millenial sebanyak 40 %. Kandidat harus mampu memenangkan tarung udara di media sosial dalam berbagai format.

  1. Konten Edukasi: Trivia edukatif soal Jakarta seperti kuliner, pendidikan, budaya, dan elemen khas daerah lainnya.
  2. Konten Menghibur: Membuat konten tentang kebiasaan orang Jakarta dalam sehari-hari yang disajikan secara jenaka.
  3. Konten Komunikatif: Membuat konten yang bisa memicu percakapan.
  4. Konten Program: Secara gamblang menampilkan profil kandidat dan visi-misi.

Keempat, media massa

Seluruh kantor pusat media massa berada di Jakarta, dan setiap kali pemilihan gubernur seluruh kantor berita akan memusatkan redaksinya ke peristiwa politik ini. Kandidat harus mampu menjalin relasi dengan kantor berita. Berikut daftarnya.

  1. Kompas: Harian terbesar di Indonesia.
  2. Tempo: Majalah mingguan dengan pembaca kalangan menengah yang terkenal oleh liputan investigasi.
  3. Detik: Portal berita online terlama dengan jumlah pembaca terbanyak.
  4. CNN Indonesia: Portal berita dan televisi populer dengan jangkauan luas.
  5. Kumparan: Portal berita terkini dengan pembaca terbanyak.
  6. Narasi: Portal berita milik Najwa Shihab yang memiliki penggemar luas.
  7. Jakarta Post: Surat kabar berbahasa Inggris.

Politik uang di Jakarta seringkali dilakukan secara terselubung. Angkanya juga kerap begitu bombastis: dari Rp 200 ribu hingga Rp 1 juta. Kandidat perlu mengantisipasi dengan memberikan edukasi dan program kampanye yang jelas serta transparan.


Pemenangan Pilkada

Panduan manajemen kampanye, pemetaan jaringan kampanye, dan perancangan program untuk pemenangan Pilkada 2024.

Rp 350.000.000