Sebagai warga Indonesia, menjadi sehat atau sakit adalah sebuah perjalanan yang menuntut upaya ekstra. Kita meniti hari di tengah tantangan konsumsi yang tak terkendali, polusi yang menyergap, dan kebersihan ruang hidup yang kerap diabaikan. Ketika takdir menjatuhkan kita pada sakit, kita dihadapkan pada pilihan: beristirahat pasrah, atau bergegas menuju klinik, puskesmas, atau rumah sakit—sebuah gerbang menuju perawatan medis dengan konsekuensi biaya yang seringkali mencekik.
“Kesehatan itu mahal.” Kalimat itu bukan sekadar ujaran klise, melainkan realitas pahit yang terpampang nyata. Lantas, pertanyaan getir pun mengemuka: Siapa sesungguhnya yang membiayai kesehatan kita?
Janji Konstitusi dan Beban Ganda Penyakit
Kesehatan, sebuah janji konstitusi, adalah hak dasar yang terpatri dalam sanubari bangsa ini. Ia bukan sekadar kemewahan, melainkan fondasi hidup sejahtera, seperti termaktub dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Lebih jauh lagi, negara mengambil alih tanggung jawab penuh, memastikan fasilitas kesehatan yang layak tersedia bagi setiap warganya, sebuah amanat yang dipertegas oleh Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 dan dikukuhkan oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Di Indonesia, sehat adalah hak asasi, sebuah janji yang tak terbantahkan.
Atas dasar itulah, setiap warga negara berhak berharap pemerintah turut menanggung tagihan kesehatan mereka. Pemerintah pun telah berupaya konsekuen. Kementerian Kesehatan mengelola lebih dari 30 ribu fasilitas, mulai dari Puskesmas hingga Rumah Sakit, demi menghadirkan akses dan fasilitas yang memadai. Melalui BPJS Kesehatan, skema iuran laksana asuransi dirancang untuk memastikan pengeluaran kesehatan warga tak terlampau tinggi.
Namun, di balik upaya ini, Indonesia masih bergulat dengan masalah kesehatan yang kompleks. Angka kematian ibu yang mencapai 190 per 100.000 kelahiran hidup adalah cermin dari anemia pada ibu hamil, paparan rokok tinggi, dan kurang gizi. Kita juga menghadapi beban ganda: penyakit menular seperti tuberkulosis, berdampingan dengan penyakit tidak menular yang mematikan seperti jantung dan stroke. Mirisnya, upaya pencegahan dan penanganan masih belum optimal karena layanan kesehatan yang belum merata.
Untuk mengentaskan persoalan ini, alokasi belanja kesehatan mesti ditingkatkan secara signifikan. Bappenas memperkirakan, kebutuhan anggaran penanganan stunting saja mencapai Rp 185,2 triliun, khusus untuk bantuan gizi anak balita dan ibu hamil dari keluarga miskin. Intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan menjadi krusial.
Anggaran yang Terancam Tak Sehat
Sejak 2016, pemerintah pusat sebenarnya telah berupaya memenuhi amanat anggaran wajib di sektor kesehatan. Prioritas diarahkan pada peningkatan layanan menuju cakupan kesehatan semesta. Bahkan, pada 2016, realisasi anggaran kesehatan mencapai target 5% dari belanja APBN, senilai Rp 92,8 triliun. Puncaknya, di masa pandemi Covid-19 (2020-2022), anggaran ini melonjak drastis hingga 11,2% pada 2021 akibat stimulus fiskal.
Namun, angin perubahan kini berembus kencang. Dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan pada Juli 2023, pemerintah tidak lagi diwajibkan mengalokasikan anggaran minimal 5% dari APBN untuk kesehatan. Padahal, UU Kesehatan yang lama (UU Nomor 36 Tahun 2009) secara gamblang mengatur mandatory spending ini. Akibatnya, pada 2023, anggaran kesehatan memang masih mengacu pada mandatory spending, tetapi angkanya menurun dari Rp 212,9 triliun (6,7%) pada 2022 menjadi Rp 178,7 triliun (5,8%).
Kekhawatiran memuncak untuk tahun 2024 dan seterusnya. Tanpa acuan anggaran wajib minimal, belanja kesehatan akan sangat dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan politik anggaran. Padahal, menurut standar WHO, capaian Indonesia masih di bawah 5%. Data Bappenas, yang diolah dari Bank Dunia, menunjukkan belanja negara untuk kesehatan di Indonesia hanya 6,9%, jauh lebih rendah dibandingkan raksasa ekonomi seperti Amerika Serikat (38%), Tiongkok (27,5%), atau bahkan negara tetangga seperti Korea Selatan (19,5%).
Di tengah janji konstitusi, beban penyakit yang tak kunjung surut, dan anggaran yang terancam tak sehat, masa depan kesehatan Indonesia terbentang di antara harapan dan kekhawatiran. Pertanyaan besarnya: akankah janji “sehat adalah hak asasi” tetap menjadi fondasi, ataukah akan tergerus oleh pragmatisme anggaran?
Branding, Marketing, dan Konten untuk Politisi
Panduan pembuatan konten dan program kampanye mulai dari penyusunan ide hingga aksi konkret untuk APK, media sosial, hingga kampanye massa.